contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Senin, 22 November 2010


            Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, job performance adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Teori tentang job performance dalam hal ini adalah teori psikologi tentang proses tingkah laku kerja seseorang sehingga menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan dari pekerjaannya. Menurut Maier (1965) perbedaan performance kerja antara orang yang satu dengan yang lainnya di dalam suatu situasi kerja adalah karena perbedaan karakteristik dari individu. Di samping itu, orang yang sama dapat menghasilkan performance kerja yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula. Kesemuanya ini menerangkan bahwa performance kerja itu pada garis besarnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor-faktor individu dan faktor-faktor situasi. Namun pendapat-pendapat ini masih belum menerangkan tentang prosesnya. Khusus yang menyangkut proses, ada dua teori :
a.       Goal Thery
Dikatakan oleh Wexley & Yukl (1977, hal 85) bahwa “another motivation theory that explains employee behavior in terms of consciouns mental processes is goal theory”. Teori ini dikemukakan oleh Locke (1968) dari dasar teori Lewin’s (1935). Locke berpendapat bahwa tingkah laku manusia banyak didasarkan  untuk mencapai suatu tujuan. Teori yang lain dikemukakan oleh Georgopoulos (1975) yang disebut “path goal theory”. Menurut beliau, performance adalah fungsi dari “facilitating procces” dan “inhibiting process”.
Prinsip dasarnya adalah kalau seseorang melihat bahwa performance yang tinggi itu merupakan jalur (path) untuk memuaskan needs (goal) tertentu, maka ia akan berhak mengikuti jalur tersebut sebagai fungsi dari level of needs yang bersangkutan (facilitating process). Kalau digambarkan sebagai berikut :

  
 Namun demikian, apakah proses tersebut akan melahirkan performance adalah tergantung dari tingkat kebebasan (level of freedom) yang ada pada jalur itu. Apabila tidak ada hambatan yang berarti (inhibiting process) maka dihasilkan performance, dan sebaliknya jika pada jalur itu banyak hambatannya.
Disamping itu, apabila individu melihat bahwa berproduksi rendah (low producer) itu justru merupakan jalur untuk menuju tujuan etrtentu misalnya agar bisa diterima teman-teman sekerjanya, maka ia cenderung menjadi low producer. Adapun syarat agar suatu jalur (path) dipilih ialah apabila level neednya cukup tinggi, tujuannya cukup menonjol, dan bila pada saat itu tidak ada jalur lain yang lebih efektif serta ekonomis.
Kesimpulan dari teori ini bahwa performance kerja itu adalah fungsi dari motivasi untuk berproduksi dengan level tertentu. Motivasinya ditentukan needs yang mendasari tujuan yang bersangkutan dan merupakan alat (instrumentality) dari tingkah laku produktif itu terhadap tujuan yang diinginkan.
b.      Teori Attribusi atau Expectancy Theory
Pertama kali dikemukakan oleh Heider (1958), (yang dikutip dari Anderson & Butzin, 1974). Pendekatan teori aatribusi mengenai performance kerja dirumuskan sebagai berikut :
P = M x A
Keterangan : P        = performance
                     M      = motivation
                     A      = ability
Konsep ini akhirnya menjadi sangat populer dan sering sekali dikutip oleh ahli-ahli lainnya dalam pembicaraan mereka tentang performance, seperti misalnya, oleh Maier (1965), lawler dan Porter (1967) dan Vroom (1964). Berpijak dari formula di atas, menurut teori ini performance  adalah hasil interaksi antara motivation dengan ability (kemampuan dasar). Dengan demikian, orang yang tinggi motivasinya tetapi memiliki ability  yang rendah akan menghasilkan performance yang rendah. Begitu pula halnya dengan orang yang sebenarnya berability tinggi tetapi rendah motivasinya.
Atas dasar ini Vroom (1064) menyarankan agar karyawan yang akan ditraining (diupgrade, dilatih) haruslah orang yang bermotivasi tinggi, sedangkan karyawan yang perlu dimotivasi adalah mereka yang berability tinggi.
Kalau dibandingkan dengan teori yang terdahulu (path goal theory), maka teori ini jauh lebih lengkap, karena ditambahkannya fungsi ability di dalam proses terjadinya performance. Perkembangan teori inipun cukup pesat dan sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan teori-teori tentang motivasi maupun teori tentang ability itu sendiri.
Pada waktu sekarang ini, rumusan aljabar kognitif di atas sudah banyak sekali variasinya. Variasi-variasi yang ada terutama mengikuti perkembangan teori “Expectancy” tentang motivasi. Mengapa demikian? Oleh karena motivasi merupakan komponen penting dari teori ini, seperti tampak pada rumusan di atas. Dari berbagai variasi-variasi maka ada tiga macam model yang dianggap penting untuk dikemukakan, yaitu :
1.      Model Vroomian (1964)
Model ini diwarnai pendapat dari Vroom (1964) tentang motivasi dan ability. Menurut model ini performance kerja seseorang (P) merupakan fungsi dari interaksi perkalian antara Motivasi (M) dan Ability (Kecakapan = K). Sehingga rumusnya  ialah :
P = f ( M x K)
Alasan dari hubungan perkalian ini ialah jika seseorang rendah pada salah satu komponennya maka prestasi kerjanya pasti akan rendah pula. Dengan kata lain apabila performance kerja (prestasi kerja) seseorang rendah, maka ini dapat merupakan hasil dari motivasi yang rendah, atau kemampuannya tidak baik, atau hasil kedua komponen (motivasi) dan (kemampuan) yang rendah.
Menurut vroom tinggi rendahnya motivasi seseorang tenaga kerja ditentukan oleh interaksi perkalian dari tiga komponen, yaitu : Valence (nilai-nilai), Instrumentality (I = alat) dan Expectancy (E = harapan).
Catatan : Menurut teori Expectancy yang dikemukakan oleh Wahba and House, (1974), dikutip oleh Wexley & Yukl, (1977), hal 82, mengenai komponen dari motivasi, adalah :
1.      outcome
2.      valence
3.      expectancy
Dikatakan bahwa outcome ini sebagai : is any potential need related consequence of behavior, misalnya yang berhubungan dengan pay increase, promotion, recognatio, co-worker acceptance, fatique dan accidents. Sedangkan yang dimaksudkan dengan valence menurut pendapat ini : is the degree to which it is desirable or undesirable. Adapun mengenai Expectancy dimaksudkan sebagai : is the perceived probility that in will infact occur if a given behavior alternatif is chosen.
Kembali pada teori dari Vroom maka rumusnya adalah :
M = V x I x E
Dengan bekerja maka setiap orang akan merasakan akibat-akibatnya. Setiap orang mempunyai sasaran-sasaran pribadi yang ia harapkan dapat ia capai sebagai akibat dari prestasi kerja yang ia berikan. Akibat-akibat ini jelas akan mempunyai nilai (valence) yang berbeda-beda bagi setiap individu, dimana nilainya bisa positif maupun negatif.
Perusahaan sebagai suatu organizational behavior mempunyai harapan-harapan terhadap produktivitas setiap tenaga kerjanya, misalnya mengharapkan prestasi kerja yang optimal. Kalau seseorang tenaga kerja bisa berprestasi kerja sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan, seberapa jauh sasaran pribadi karyawan tersebut bisa dipenuhi? Dengan kata lain, sejauh mana atau sebesar bagaimanakah dapat diharapkan oleh tenaga kerja bahwa prestasinya akan memberikan akibat-akibat yang diharapkannya? Dalam hal ini kemungkinan tercapainya sasaran-sasaran pribadi satu persatu melalui tercapainya produktivitas yang diharapkan oleh perusahaan ini, dinamakan oleh Vroom sebagai Instrumentality.
Jika misalnya prestasi kerja yang tinggi itu merupakan outputnya seseorang tenaga kerja, sejauh mana kemungkinan yang dirasakan oleh tenaga kerja bahwa tenaga yang akan diberikan dan usaha yang akan dilakukan dapat membuahkan prestasi kerja sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan dari dia? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang berhubungan dengan dimaksudkan Vroom tentang Expectancy (harapan).
Jika seseorang karyawan mempunyai harapan yang besar dapat berprestasi tinggi, dan jika ia menduga bahwa dengan tercapainya prestasi yang tinggi ia akan merasakan akibat-akibat yang diharapkan, maka ia akan mempunyai motivasi yang tinggi untuk bekerja. Sebaliknya jika karyawan merasa yakin bahwa ia tidak akan dapat mencapai prestasi kerja sesuai dengan yang diharapkan perusahaan daripadanya  maka ia akan kurang motivasinya untuk bekerja.
Selanjutnya tentang ability (kemampuan), menurut pendapat Vroom (1964) adalah semua non motivational attributes yang dimiliki oleh individu untuk melaksanakan suatu tugas. Jadi ability merupakan suatu potensi untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, ability  adalah what one can do dan bukanlah what he does do. Dikatakan selanjutnya, bahwa ability itu ditentukan oleh tiga hal :
1.      kondisi serisoris dan kognitif
2.      pengetahuan tentang cara response yang benar
3.      kemampuan untuk melaksanakan respon tersebut
2.      Model Lowler dan Porter (1967)
Kedua ahli ini mengemukakan variasi yang sedikit berbeda dari rumusan P = M x A yang telah dibahas di muka. Adapun rumusan yang diusulkan oleh Lawler dan Porter adalah sebagai berikut :
Performance = Effort x Abilities x Role Perceptions
Keterangan :
·        Effort                    : adalah banyaknya energi yang dikeluarkan seseoarng dalam situasi tertentu
·        Ability                    : adalah karakteristik individuil seperti intelegensi, manual skill, traits yang merupakan kekuatan potensial seseorang untuk berbuat dan sifatnya relatif stabil
·        Role Perceptions   : adalah kesesuaian antara effort yang dilakukan seseorang dengan pandangan evaluator atau atasan langsung tentang Job requierementnya
Hal yang baru ditambahkan pada model ini adalah Role Perceptions, yang dikatakannya sebagai jenis aktivitas tingkah laku yang dirasakan subjek paling cocok untuk dilakukan agar dapat sukses, dinamikanya mengikuti perubahan situasi, berperan sebagai penentu arah dari effort, dan merupakan moderator atas korelasi antara effort  dengan performance.
Menurut lawler dan Porter (1967), effort ditentukan oleh dua hal, yaitu : value or rewards (ini kira-kira sama dengan istilah valensi dari Vroom) dan instrumentality of effort (persepsi individu tentang besarnya peluang bahwa rewards itu bergantung pada effort.
Menurut Lawler dan Porter, langkah-langkah dalam menghitung ramalan performance individu adalah pertama diukur dahulu value of rewards. Caranya ialah meminta subjek meranking beberapa rewards yang potensial, atau memintanya merangking beberapa rewards tertentu. Selanjutnya diukur persepsi subjek tentang sejauh mana rewards itu bergantung pada effort yang akan dilakukannya. hasilyang akan dilakukannya. Hasil perkalian dua skor dari pengukuran ini adalah skor effort. Setelah itu dibuat pengukuran atas ability dan ketepatan dari Role Perceptions. Kalau skor effort itu bergerak dari angka nol (tidak ada effort) sampai dengan sepuluh (effort yang maksimum), dan begitu pula halnya dengan ability. Kemudian Role Perceptions  dinyatakan dalam nol persen (completely inaccuratei) sampai dengan seratus persen (completely accuratei), maka hasil perkaliannya itu adalah performance yang diharapkan dari individu tertentu dalam situasi tertentu.
3.      Model Aderson dan Butzin (1974)
Pada mulanya Anderson dan Butzin mempersoalkan rumusan P = M x A, sejauh mana kebenaran dari model perkalian (multiplicative) antara motivasi dan ability tersebut. Lalu mereka mulai menguji dengan mengadakan penelitian-penelitian, apakah model perkalian tersebut lebih baik dan tepat hasilnya bila dibandingkan dengan model tambahan (additive).
Ternyata mereka menemukan bahwa model perkalian itu tidaklah lebih baik daripada model tambahan, karena sama-sama mempunyai kelemahan tertentu. Akhirnya mereka mengajukan formula baru yang menggunakan perkalian dan tambahan sekaligus, yang rumusnya sebagai berikut :
Future performance = [past performance + (motivation x ability)]
Semua teori job performance dimana di dalamnya melibatkan motivasi individu adalah bersifat perhitungan tentang kemungkinan achievement seseorang, sehingga bukanlah pengukuran tentang performance yang sudah ada. Oleh sebab itu formula yang sudah diajukan di muka tidaklah biasa untuk mengukur performance dalam rangka penilaian jabatan. Namun demikian, apabila telah didapat skor performance yang sebenarnya, kemudian dimiliki pula skor ability atau motivasinya, maka akan dapat diterka level dari salah satu yang lain (motivasi atau abilitynya itu) yang belum diketahui, dengan menggunakan formula diatas.

Pengukuran Job Performance

            Untuk mengukur job performance, masalah yang paling pokok adalah menetapkan kriterianya. Menurut Jessup & Jessup (1975), yang pertama diperlukan dalam hal ini adalah ukuran mengenai sukses, dan bagian-bagian mana yang dianggap penting sekali dalam suatu pekerjaan. Usaha untuk menentukan ukuran tentang sukses ini amatlah sulit, karena seringkali pekerjaan itu begitu kompleks sehingga sulit ada ikuran output yang pasti. Hal seperti ini terutama terdapat pada jabatan-jabatan yang bersifat administrative. Kesulitan dalam menentukan dasar ukuran ini merupakan masalah sensitive di kalangan ahli psikologi industri, dan terkenal dengan “the criterion problem” (Maier, 1965; Wexley & Yukl, 1977).
            Menurut Bellows (1961), beberapa syarat criteria yang baik ialah apabila lebih reliable, realistis, representative dan bisa predictable. Dalam hal ini dikatakan oleh Maier (1965) bahwa yang umum dianggap sebagai criteria antara lain ialah : kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi, dan keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan. Dikatakan selanjutnya bahwa dimensi mana yang lebih penting, adalah berbeda antara pekerjaan yang satu dengan yang lainnya.
            Kalau criteria untuk suatu pekerjaan sudah ditetapkan, maka langkah berikutnya dalam mengukur performance adalah mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan hal tersebut dari seseorang selama periode tertentu. Dengan membandingkan hasil ini terhadap standard yang dibuat untuk periode waktu yang bersangkutan, akan didapatkan level of performance seseorang.
            Untuk memudahkan pengukuran performance kerja ini Maier (1965) membagi pekerjaan menjadi dua jenis, yaitu :
a.       Pekerjaan produksi, dimana secara kuantitatif orang bisa membuat suatu standard yang objektif.
b.      Pekerjaan yang non produksi, dimana penentuan sukses tidaknya seseorang di dalam tugas biasanya didapat melalui human judgments atau pertimbangan subjektif.
Untuk jenis pertama, hasil produksi seseorang bisa langsung dihitung, dan mutunya dapat dinilai pula melalui pengujian hasil. Sedangkan untuk jenis kedua, ada beberapa cara yang lazim ditempuh, antara lain melalui penilaian (rating) oleh atasan, rating oleh teman (peer rating) dan juga self rating. Karena cara yang demikian ini lebih bersifat subjektif, maka sedapat mungkin diusahakan adanya standard yang objektif itu, dan kalau sudah tidak memungkinkan barulah ke langkah yang kedua.
Secara ringkasnya dapatlah dikatakan bahwa pengukuran tentang job performance itu tergantung kepada jenis pekerjaannya dan tujuan dari organisasi perusahaan yang bersangkutan. Kedua hal ini menentukan apa criteria sukses yang berlaku untuk jabatan itu, serta dimensi-dimensi mana dari pekerjaan itu yang dianggap lebih penting.

0

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e:
:f: :g: :h: :i: :j:
:k: :l: :m: :n: :o:

Posting Komentar

sedikit coretan perkuliahan