contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Jumat, 01 Oktober 2010


1.      Pengertian Industrialisasi
·        Industrialisasi adalah suatu proses menciptakan interaksi para pihak yang memiliki kepentingan ekonomis yang sama terhadap suatu siklus rantai nilai. Proses ini dapat terjadi secara alamiah maupun disengaja. Secara alamiah, pemicu proses industrialisasi adalah pasar. Jadi, pasar yang membutuhkan barang/jasa otomotif memancing munculnya para produsen otomotif untuk mensuplai kebutuhan pasar. Pada gilirannya, kebutuhan logistik produsen akan menghadirkan para supplier. Lalu, setelah barang/jasa selesai dibuat, maka proses delivery ke pasar akan memerlukan para distibutor dari hulu ke hilir. Ketika tingkat persaingan menjurus tak terkendali, bahkan kepentingan lingkungan sosial dan alam harus diakomodir, maka pemerintah turun tangan menjadi wasit melalui berbagai regulasi yang menjamin keterbukaan, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness.
·        Industrialisasi (atau industrialisasi) adalah proses perubahan sosial dan ekonomi yang mengubah kelompok manusia dari masyarakat pra-industri menjadi salah satu industri. Ini adalah bagian dari proses modernisasi yang lebih luas, di mana perubahan sosial dan pembangunan ekonomi, berkaitan dengan inovasi teknologi, khususnya dengan pengembangan energi berskala besar dan produksi metalurgi. Ini adalah organisasi ekonomi yang luas untuk tujuan manufaktur.

2.      Penngertian Pembangunan Negara
Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development) ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.
 Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah ber­kembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pen­dahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelan­jutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehi­dupan. Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat.
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya peren­canaan. Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu dengan Negara lain.  Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pemba­ngunan merupakan proses untuk melakukan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasas­mita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Pada awal pemikiran tentang pembangunan sering ditemukan adanya pemikiran yang mengidentikan pembangunan dengan perkembangan, pembangunan dengan modernisasi dan industrialisasi, bahkan pembangunan dengan westernisasi. Seluruh pemikiran ter­sebut didasarkan pada aspek perubahan, di mana pembangunan, perkembangan, dan modernisasi serta industrialisasi, secara kese­luruhan mengandung unsur perubahan. Namun begitu, keempat hal tersebut mempunyai perbedaan yang cukup prinsipil, karena masing-masing mempunyai latar belakang, azas dan hakikat yang berbeda serta prinsip kontinuitas yang berbeda pula, meskipun semuanya merupakan bentuk yang merefleksikan perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994). Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan,  antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pem­bangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas kehidupan ma­syarakat yang menyangkut berbagai aspek, pemikiran tentang modernisasi pun tidak lagi hanya mencakup bidang ekonomi dan industri, melainkan telah merambah ke seluruh aspek yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, moderni­sasi diartikan sebagai proses trasformasi dan perubahan dalam masya­rakat yang meliputi segala aspeknya, baik ekonomi, industri, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena dalam proses modernisasi itu terjadi suatu proses perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan di mana terjadi proses perubahan dari kehidupan tradisional menjadi modern, yang pada awal mulanya ditandai dengan adanya penggunaan alat-alat modern, menggantikan alat-alat yang tradisio­nal.
Selanjutnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, para Ahli manajemen pembangunan terus berupaya untuk menggali konsep-konsep pembangunan se­cara ilmiah. Secara sederhana pembangunan sering diartikan seba­gai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Karena perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkat­an dari keadaan semula, tidak jarang pula ada yang mengasumsi­kan bahwa pembangunan adalah juga pertumbuhan. Seiring de­ngan perkembangannya hingga saat ini belum ditemukan adanya suatu kesepakatan yang dapat menolak asumsi tersebut. Akan tetapi untuk dapat membedakan keduanya tanpa harus memisah­kan secara tegas batasannya, Siagian (1983) dalam bukunya Admi­nistrasi Pembangunan mengemukakan, “Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemam­puan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kuali­tatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak ha­rus terjadi dalam pembangunan.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangun­an. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan/per­luasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat.
                                                                                                                     
3.      Sejarah Industri  di Indonesia
Menjelang tahun 1900, pada saat Indonsia di bawah Kolonial, terutama Jawa, telah membangun banyak sektor manufaktur modern yang sangat besar yang mengolah komoditi-komoditi primer, baik tanaman pertanian (terutama gula) maupun bahan-bahan mentah (terutama minyak), yang berhubungan dengan industri mesin dan logam besar, ditambah oleh kebutuhan umum da sedikit jenis barang konsumen dan bahan bangunan. Dalam kenyataannya, Jawa dominan di Asia Tenggara. Di seluruh Asia, padanannya adalah industri pembuatan serat di Benggala (Kalkuta), pabrik tekstil Osaka Spinning Mill (1882) dan pada 1890-an industri tekstil kapas mulai menjadi sektor terkemuka di Jepang. Meskipun demikian, menjelang awal 1880-an, mekanisasi industri gula di Jawa hampir lengkap. Pada akhir 1900, Surabaya (dan bukan Batavia) memiliki peringkat yang setara dengan Kalkuta, Bombay, dan Osaka di antara pusat-pusat industri terkemuka di Asia.
Pertanyaannya adalah, mengapa Jawa tidak dapat memanfaatkan kemajuan awalnya di bidang industrialisasi? Yang jelas, karena tidak ada kemajuan otomatis dari pembangunan industri modern menjadi industri mandiri. Dalam pengertian counter factual, dapat diajukan pertanyaan mengenai apa yang mungkin penting bagi Jawa pada akhir abad ke-19 untuk mengkonsolidasi keuntungan-keuntungan awalnya? Secara lebih tepat, tugas yang akan dilakukan adalah mengidentifikasi ciri-ciri ekonomi Hindia Belanda baik pada sisi penawaran maupun permintaan yang mungkin telah membatasi dampak pertumbuhan industri kumulatif atau mencegah pengambilan kebijakan-kebijakan yang penting dalam mendorong pertumbuhan tersebut. Tiga ciri pertumbuhan indusri awal dari Hindia Belanda yang tampaknya telah menghambat keuntungan selanjutnya yang meningkat pesat, yaitu :
1.      Evolusi sector manufaktur modern yang dipusatan pada pulau Jawa hingga setelah 1900.
2.      Mengidentifikasi struktur spasial manufaktur modern, yang membedakan antara kegiatan yang berpusat di kota dengan di desa.
3.      Pasar domestic masih terlalu kecil untuk melahirkan sebuah sektor penting yang baru, sementara rezim prdagangan kolonial menguasai semua bentuk dorongan untuk penggantian impor, setidaknya hingga 1930-an. Karena itu, secara keseluruhan sektor manufaktur tetap merupakan sektor yang terbelakang.


Munculnya Sektor Manufaktur Modern Sebelum 1900

Ujung tombak industrialisasi adalah sektor “formal” atau “modern”. Perusahaan manufaktur “modern” pertama yang dibuka, setidaknya dalam pengertian dikelola dalam skala besar, adalah industri pertahanan dan galangan kapal yang dikelola oleh Dutch India Company, VOC, dan pemerintah kolonial. Namun, teknologi yang digunakan masih berada pada tahap praindustri dan tergantung hamper seluruhnya pada pengerjaan kayu dengan alat-alat tangan. Pekerjaan yang menyangkut logam, dipusatkan pada Gudang Senjata dan percetakan uang pada 1808 di Surabaya. Mesin uap pertama kali diperkenalkan untuk menjalankan kapal-kapal laut, baik milik swasta maupun milik angkatan laut. Kapal pertama bertenaga uap, Van der Capellen berlabuh di Surabaya 1825 untuk melayani perjalanan pantai utara Jawa. Kapal-kapal angkatan laut pertama yang bertenaga uap tiba di Hindia Belanda pada 1838 untuk dipakai patroli anti bajak laut. Pada 1849, pemerintah mengambil alih ketel uap yang digadaikan dan took mesin Heer Baijer di Surabaya. Pada 1851, took konstruksi tersebut diubah fungsinya menjadi gudang senjata militer khusus dan ketel uap dan toko mesin menjadi bagian inti dari pabrik angkatan laut khusus. Pada 1859, Cores de Vries mendirikan galangan kapal di Surabaya tempat peleburan dan ketel uap pada 1863. perusahaan Pelayaran Uap Hindia Belanda pada 1872 membuka sebuah pabrik perbaikan kapal di Surabaya yang kemudian diambil alih oleh perusahaan perwakila Inggris Fraser, Eaton & Co.
Namun, sektor yang menonjol awal itu adalah industri gula untuk pasar internasional. Meskipun hingga 1830-an, pabrik-pabriknya masih tergolong kecil dan bertenaga hewan ternak yang menggunakan batu gerinda dan bangunannya terutama terbuat dari kayu. Pembukaan lahan berdasarkan UU Pertanahan tahun 1870 mengakibatkan modernisasi yang pesat pada pabrik-pabrik gula, segera membuat pabrik-pabrik pengguna tenaga hewan dan tenaga air yang lam terpinggirkan. Jumlah ketel uap yang digunakan industri gula meningkay dari 342 unit pada 1871 menjadi sekita 1.000 unit pada 1881, dan mencapai puncaknya dengan jumlah sekitar 1.350 unit menjelang Perang Dunia I hinnga depresi 1930-an. Dari awal 1880-an hingga 1930, jumlah pabrik gula tetap tidak berubah, yakni sekitar 200 unit. Dari seluruh jumlah ketel uap yang digunakan perusahaan-perusahaan manufaktur swasta pada 1900, pabrik gula menyumbangkan 90%. Semua bentuk manufaktur lain (pengambilan minyak, nila, dan perkebunan kopi) hanya menyumbang tidak lebih dari 6% dari kapasitas ketel uap. Ini menunjukkan betapa terbatasnya pembangunan industri Indonesia zaman kolonial pada saat itu. Situasi tersebut diperkuat dengan distribusi kapasitas mesin oleh tenaga kuda, di mana banyak pabrik menggunakan tenaga uap dalam jumlah minim, masing-masing hanya menggunakan satu tenaga kuda.
Indusri minyak memulai produksinya di Jawa pada 1887. tenaga uap digunakan baik untuk pengambila maupun pemrosesan minyak mentah menjadi minyak tanah. Lahan-lahan pertama berada di sebelah selatan Surabaya, di mana dibuka penyulingan pada 1889 ditambah dengan sebuah pabrik untuk memproses residu menjadi lilin paraffin, dan di daerah pedesaan Blora pada 1894. Merupakan bagian kompleksitas ini adalah sebuah pabrik untuk memproduksi kaleng-kaleng timah tempat minyak tanah sebelum didistribusikan.
Meskipun ketel uap, vacuum pans, centrifuge,dan mesin-mesin uap diimpor, terutam dari Inggris, pemeliharaan dan perbaikannya terpaksa dilakukan secara lokal. Sebuah pabrik terpaksa menghentikan kegiatannya selama satu musim, sementara sebuah perlengkapan atau suku cadang baru dipesan atau dikapalkan ke koloni, memaksa parik tersebut menyediakan ahli teknik secara mendadak.
Sementara industri gula menimbulkan permintaan langsung produk industri kerja logam, juga ada permintaan penting secara tidak langsung. Pertama, ada permintaan pembuatan pintu air dan pintu gerbang yang terbuat dari logam dan gambar teknik mesin untuk pekerjaan-pekerjaan irigasi. Pekerjaan pembuatan rel kereta pertama pada zaman kolonial di Indonesia diberikan pada 1863 dan 1864. Industrialisasi Indonesia di zaman kolonial pada awalnya didorong oleh kebutuhan untuk memproses produk-produk primer untuk pasar dunia dan pasar domestik di negara ini. Permintaan terutama dari penduduk Eropa yang mengharapkan suatu kehidupan perkotaan yang nyaman. Sehingga melahirkan tuntutan terhadap bahan bangunan, terutama batu bata, genting, dan kapur yang diproduksi di luar kota dan jumlahnya meningkat bersamaan dengan penerapan tenaga uap. Permintaan selanjutnya adalah akan es dan air mineral. Pabrik es dibuka di Batavia pada 1863 dan di Surabaya pada 1866. Toko-toko roti umumnya dibuka oleh industri rumah tangga yang membutuhkan tungku kayu, sedangkan tenaga uap digunakan untuk pembuatan tepung. Laundry dengan tenaga uap didirikan di kota-kota pelabuhan, tetapi pembuatan sabun tetap merupakan kegiatan yang menggunakan keterampilan tangan. Di kota-kota utama, meningkatnya jumlah penduduk Eropa mengakibatkan meningkatnya permintaan akan koran, majalah lokal dan buku yang didukung oleh industri percetakan dan penerbitan yang juga meningkat. Sebaliknya, di berbagai pulau luar Jawa pabrik-pabrik manufaktur modern tetap sedikit hingga akhir 1900. Ini disebabkan oleh penggabungan dari sebagian besar daerah ini ke dalam orbit kolonial. Meskipun beberapa pabrik didirikan Belanda di kota-kota pantai, tetapi Thee mengatakan, “ tidak ada industri manufaktur yang pernah berkembang di Sumatera Timur.”

Dimensi Spasial

Salah satu implikasi nyata dari pernyataan di atas adalah manufaktur modern berkembang menurut pola-pola spasial yang sangat khusus. Akan berguna untuk membedakan antara industri yang berpusat di desa dan di kota. Industri yang berpusat di desa meliputi dua kategori, yakni industri yang berintikan perkebunan yang bersifat lahan ekstensif dan industri ekstraktif, terutama pertambangan yang memiliki lokasi khusus dan cenderung membentuk pusat-pusat tertentu. Ada kecenderungan tingkat spesialisasi produk yang tinggi. Dalam kenyataannya, ada kategori ketiga, yakni “batas luar kota” yaitu industri pembuatan genting dan batu bata, pembakaran kapur dan tembikar yang dapat ditempatkan pada daerah padalaman desa, yang dekat dengan pusat-pusat kota. Namun, kategori ini dikesampingkan karena sangat sedikit pabrik yang dimekanisasi.
Kesulitan utama dalam menerapkan matriks sektoral spasial adalah tingkat keterinciannya dalam data yang tidak terlalu dapat dipilah hingga tingkat karesidenan, apalagi membedakan lokasi desa dan kota dalam setiap karesidenan. Untungnya dari 1881 hingga 1907, sebuah lampiran dalam Koloniaal Verslag memuat daftar pabrik nonpetanian yang dimiliki swasta berdasarkan lokasi dengan perincian nama da produk yang terdaftar, sumber tenaga dan angkatan kerja.
Sehubungan dengan manufaktur yang berpusat di kota pada sekitar 1900, ingkup kegiatannya masih cukup terbatas, karena sedikit industri baru yang menerapkan ketel uap atau tenaga lain. Dalam kenyataannya perkebunan dan industri ekstraktif di desa muncul sebagi satu-satunya pemakai tenaga kerja yang menonjol. Sebagian kecil pekerjaan umum di kota, gas, tenaga dan penyulingan air menyerap 300 pekerja, karena itu muncul sejumlah pabrik. Ini menunjukkan dengan jelas alangkah sedikitnya pabrik-pabrik yang diklasifikasikan “modern”. Setelah 1900 terjadi penyebaran bertahap dan diversifikasi dalam industri modern yang berpusat di kota. Sebagian penyebabnya adalah teknologi. Penerapan tenaga uap dalam manufaktur telah dibatasi karean ketel uap dan peralatan mesin mahal, membutuhkan beberapa skala operasi minimal dan tidak sesuai dengan penggunaan yang tidak berkelanjutan. Namun, menjelang 1900-an, motor yang menggunakan gas dan minyak cukup murah dan dapat digunakan sebagai tenaga utama atau sampingan dalam prorses manufaktur yang hingga saat itu bergantung pada kerja kasar dan tenaga air. Pada akhir abad ke-19, pabrik-pabrik menggunakan tenaga listrik yang dibnagun di kota-kota utama. Kecenderungan lain setelah 1900 adalah bahwa keseimbangan industri mulai beralih dari Jawa Timur dan Jawa Tengah ke Jawa Barat dan Sumatera. Karena tingkat investasi dan penyerapan tenaga kerja pada industri gula tidak cukup tinggi untuk diperhitungkan sebagai sektor yang maju. Meskipun pulau-pulau di luar Jawa meningkatkan peran dalam ekspor, tetapi tetap bias karena daerah minyak terpisah di Kalimantan Timur dan satu-satunya ekspor yang signifikan dari kopra berada di Makassar. Sedangkan Batavia menjadi kota yang makmur akibat “Politik Etis” dan adanya diversifikasi dan perluasan pusat-pusat industri.

Ukuran Pasar

Potensi pasar domestik untuk menumbuhkan sektor-sektor penting manufaktur modern dibatasi oleh ukuran pasar yang kecil. Jika harus ada pasar massa untuk menampung pabrik-pabrik manufaktur modern dengan skala efisien minimum, jelas pasar tersebut harus didukung pertama-tama oleh penduduk Indonesia. Selama 1920-an, sebagian besar penduduk Indonesia menerima tiga perempat pendapatan nasional. Namun, tunjangan harus diberikan kepada mereka yang berpendapatan rendah dan sedikit di atas kebutuhan hidup dari sebagian besar penduduk. Akibatnya, hanya sekitar sepertiga pendapatan orang Indonesia memiliki daya beli “surplus” yang seharusnya dapat digunakan membeli barang-barang manufaktur. Karena biaya kesempatan kerja keluarga pekerja paruh-waktu rendah dan produksinya cenderung bersifat konsumtif, hanya sedikit industri yang menyebarkan produk yang telah dirancang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa dengan harga rendah, kecuali tekstil. Selama abad ke-19, tekstil tenun dan tekstil mesin dari Eropa menyingkirkan sebagian besar produk tekstil tradisional. Ukuran pasar domestik yang kecil bukanlah hambatan yang mengikat, tetapi perlu dipahami dalam konteks rezim perdagangan yang dominan. Tanpa pasar massa yang dapat ditembus oleh penduduk Indonesia, industri barang-barang konsumen modern cenderung memusatkan diri pada permintaan dari kelompok elite Eropa, terutama di kota dan kelas menengah yang berpendapatan besar. Factor lain yang menekan daya beli masyarakat Indonesia adalah andil substansial pendapatan nasional yang dibebaskan terhadap penduduk tidak tetap, orang Eropa dan Cina.

Rezim Perdagangan

Pada pertengahan abad ke-19, pasar domestik Hindia Belanda masih terisolasi dari perekonomian internasional dengan tingkat proteksi alami yang tinggi. Namun keadaan ini mampu menampung berbagai sektor manufaktur yang mengandalkan keterampilan. Setelah Terusan Suez dibuka dan dimulainya pelayanan kapal uap regular pada 1870 antara Eropa dan Indonesia, tingkat proteksi alami menurun drastis. Karena itu kompetisi impor meningkat untuk manufaktur yang berhubungan dengan keterampilan dan membatasi lingkup pendirian industri modern yang baru.
Dalam menghadapi kompetisi impor yang meningkat, prospek untuk pengembangan industri di Indonesia pada zaman kolonial menjadi semakin tergantung pada proteksi buatan. Sistem Tanam Paksa telah membiayai investasi dan memperluas pasar untuk industri tekstil, tetapi sebagai salah satu penyimpangan dalam sistem kolonial, lokasinya tidak berada di Indonesia pada zaman kolonial, tetapi di Netherland.
Perekonomian Belanda, yang khusus menangani bisnis dengan Hindia Belanda ditandai dengan kontrol oligopolistik yang kuat. Perdagangan luar negeri, melebur ke dalam oligopoli ketat kantor perdagangan Big Five, yang dibiayai bank-bank HB terkemuka. Namun, mereka tidak mendapatkan keuntungan dari pembatasan impor demi para produsen local yang lemah. Sementara dilakukan pendirian industri baru di tengah-tengah kompetisi impor, tetapi hal itu sangat riskan.
Indonesia pada zaman kolonial bukanlah merupakan perekonomian yang terintegrasi, tetapi lebih merupakan perekonomian enklaf yang berhubungan secara longgar dan terlibat dalam perdagangan langsung dengan perekonomian internasional.
Menjelang 1930-an, pemerintah kolonial akhirnya menetapkan pertumbuhan industri sebagai tujuan kebijakan dan menerapkan tindakan-tindakan proteksionis konvensional. Menurut Dick, 1930-an tidak merupakan tahapan logis selanjutnya dalam evolusi kebijakan kolonial, tetapi merupakan perubahan yang berbalik dalam menanggapi krisis dalam perekonomian internasional dan rezim perdagangan yang sejak 1870 telah menunjukkan sikap akomodatif pemerintah kolonial terhadap tatanan perdagangan dunia. Karena di satu pihak, jatuhnya permintaan dunia telah menghilangkan keuntungan-keuntungan dari ekspor komoditi utama Indonesia pada zaman kolonial, sedangkan di lain pihak, Jepang dengan cepat mendominasi impor yang memasuki koloni tersebut, perekonomian ekspor-impor tidak lagi bekerja untuk keuntungan para penguasa kolonial.         
                 
4.      Perkembangan Negara Indonesia Dari Negara Agraris ke Industri
Indonesia mulai beralih dari negara agraris menjadi negara industri.berbagai strategipun diutak-atik.Roadmap 2010 sebagai jalan keluar. Tinggal menunggu
implementasinya mengalir sesuai rencana. Pembangunan ekonomi yang dilakukan negara-negara industri baru (Newly Industrializing Countries/NICs) telah mencengangkan dunia. Bukan hanya karena kecepatan yang dicapainya, melainkan juga meruntuhkan mitos yang selama ini menjadi asumsi negara Barat tentang bangsa Asia yang dinilai malas dan tidak akan pernah maju. Setidaknya, gerakan itu dimulai Jepang yang berhasil meraih status negara industry dan memaksa Barat untuk mengakuinya. Bahkan, menempatkan Negeri Matahari Terbit itu dalam forum G-7. Jejak Jepang pun diikuti negara Asia lainnya, tidak terkecuali Indonesia. Memang, krisis yang terjadi pada 1997 sempat mencuatkan kembali asumsi Barat bahwa Asia tidak akan pernah menyamai Barat. Namun, sebagian negara Asia yang terkena imbas krisis segera bangkit.
Sementara sebagian negara Asia lainnya termasuk Indonesia karena krisis ekonomi menimbulkan krisis politik, penyembuhannya masih tertatih-tatih. Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Mudrajad Kuncoro dalam bukunya, Ekonomika Industri Indonesia: Menuju Negara Industri Baru 2030? mencoba membedah industrialisasi dalam perspektif ”ekonomi industri”, sekaligus memotret bagaimana dinamika perkembangan industri Indonesia dari sejak era Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam buku itu disebutkan, ekonomi industri pada hakikatnya merupakan popular dalam ilmu ini adalah berusaha untuk menjelaskan kinerja organisasi dengan melihat hubungan antara struktur industri, perilaku organisasi, dan kinerja organisasi; atau dikenal dengan paradigma Structure, Conduct, Performance (SCP). Selain SCP, buku ini juga menggunakan perspektif ekonomika industri baru (new industrial economics), yaitu perspektif kelompok (cluster) dalam meningkatkan daya saing industri. Itu sebabnya, sebagian negara Asia menanggap industrialisasi sebagai strategi sekaligus obat untuk bangkit.Sebagai ”strategi”industri dianggap suatu proses ”linear”, yang harus dilalui dengan sejumlah tahapan yang saling berkaitan dan berurutan dalam transformasi struktur ekonomi di banyak negara. Sebagai ”obat” dipandang ampuh dalam mengatasi masalah keterbelakangan, kemiskinan, ketimpangan,dan pengangguran. Lantas, bagaimana Indonesia menyikapi perubahan dan tuntutan di era globalisasi? Menteri Perindustrian Fahmi Idris awal Maret lalu mengatakan,Indonesia mulai beralih dari negara agraris menjadi Negara industri. Kondisi ini didasari atas kontribusi industri pengolahan (manufaktur) terhadap produk domestik bruto (PDB) yang meningkat sejak lima tahun terakhir dibandingkan sector pertanian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Depperin menyebutkan, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB selalu bertahan pada angka 27–28,3% pada kurun waktu 2002–2006. Fahmi menjelaskan, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB tetap berada pada posisi teratas dibandingkan dengan bidang-bidang strategis lainnya, seperti pertanian, kehutanan, pertambangan, perdagangan, serta hotel dan restoran. ”Kalau melihat angka-angka (dari BPS) ini,ada dua kesimpulan yang kita ambil yakni (di Indonesia) tidak terjadi deindustrialisasi. Kedua, ini yang paling penting, kita mulai beralih dari negara agraris menjadi Negara industri. Sektor pertanian yang dahulu memegang peran utama, sekarang sudah tergantikan,”ujar Fahmi. Dia menjelaskan, total ekspor industri nonmigas pada 2006 mencapai USD79,5 miliar dari total ekspor nasional yang mencapai USD100,69 miliar atau meningkat 19,68% dibandingkan 2005 senilai USD66,43 miliar. Dengan demikian pada 2006, industri manufaktur nasional berkontribusi sekitar 79% dari total ekspor nasional. Meski begitu, bukan berarti untuk ”bermetamorfosis” dari negara agraris ke negara industri tanpa halangan. Hambatan yang dihadapi industry nasional pun semakin kompleks.
Setidaknya,masalah penurunan daya saing industri di pasar global,struktur industri dari hulu ke hilir yang kurang kuat sehingga menyebabkan fondasi industri tidak kukuh, dan ketergantungan impor bahan baku, penolong serta komponen masih sangat tinggi,merupakan sederet persoalan dalam industri nasional yang perlu dicermati dan diantisipasi. Disamping itu,tingkat suku bunga masih tinggi sehingga penyerapan kredit ke sector riil menjadi rendah. Dalam upaya mempertajam arah dan prioritas pembangunan ekonomi, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), Maret lalu, menyatakan telah berprakarsa menyelenggarakan Round Table Discussion ketika menyusun Visi 2030 dan Roadmap 2010 Pengembangan Industri Nasional,yang menghasilkan rekomendasi Roadmap Prioritas Pembangunan 10 Sektor Industri Indonesia. Ke-10 sektor industri itu dikelompokan dalam tiga besar. Pertama, industri unggulan pendongkrak pertumbuhan ekonomi di atas 7% yang terdiri atas empat cluster (tekstil dan produk tekstil, elektronik dan komponen elektronik, automotif dan komponen automotif, serta perkapalan). Kedua, industri unggulan peningkatan daya tarik investasi dan daya saing (di antaranya industri pengembang infrastruktur,industri barang modaldan mesin perkakas,industri petrokimia hulu, termasuk industri pupuk). Ketiga, industri unggulan penggerak pencipta lapangan kerja dan penurunan angka kemiskinan (industri pengolahan hasil laut dan kemaritiman, industri pengolahan hasil pertanian, peternakan, kehutanan, dan perkebunan, termasuk industri makanan dan minuman, industri berbasis tradisi dan budaya, utamanya: industri jamu,kerajinan kulit, rotan dan kayu, rokok kretek,batik dan tenun ikat). ”Perumusan roadmap ini merupakan salah satu agenda utama Kadin Indonesia yang dilaksanakan bersama-sama seluruh pemangku kepentingan, khususnya para asosiasi dan perusahan di sektor masingmasing selama hampir setahun lamanya,” ujar Ketua Umum Kadin MS Hidayat. Roadmapini sendiri merupakan dokumen yang dihasilkan sebagai hasil interaksi Kadin Indonesia dengan asosiasi-asosiasi industri.Tujuannya untuk melengkapi sumbang pikir Kadin kepada pemerintah. Dalam roadmap Kadin secara gamblang dijelaskan mengenai sektor industri yang diniali bisa menjadi unggulan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, roadmap ini juga memuat sejumlah harapan agar pemerintah bisa berperan lebih ”atraktif” agar sasaran strategis yang hendak dituju Industri nasional selama 25 tahun mendatang bisa terwujud, di antaranya lewat kebijakan-kebijakan yang mendukung ”metamorfosa” Indonesia menjadi negara industri.


0

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e:
:f: :g: :h: :i: :j:
:k: :l: :m: :n: :o:

Posting Komentar

sedikit coretan perkuliahan